SURGA SATWA LIAR

SURGA SATWA LIAR
HARIMAU HASIL JEBAKAN KAMERA DI BLOK HUTAN ADIAN KABO SEKSI PTN WILAYAH I TAMAN NASIONAL BATANG GADIS (TRAP BY CII/TNBG)

Kamis, 19 Agustus 2010

Tulisan By Ifham Fuadi Rambe, S.Hut / Calon PEH Tk. Ahli pada Seksi PTN I Siabu

KEBERADAAN MASYARAKAT ETNIS NIAS DI HUTAN LINDUNG MADINA DAN DAMPAKNYA PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL BATANG GADIS
Hasil Inventarisasi Kerusakan Hutan SPTN Wilayah I Siabu

A. LATAR BELAKANG

Kabupaten Mandailing Natal terbentuk tanggal 23 November 1999 yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Selatan, Propinsi Sumatera Utara. Hampir 80 % Penduduknya adalah suku Batak Mandailing, Hal ini mendasari kehidupan sosial masyarakat yang diwarnai oleh dominasi norma-norma dan hukum adat mandailing. Madina Memiliki luas 662.000 ha, dengan jumah penduduk 377.677 jiwa yang tersebar di 273 desa. Sebagaian besar potensi wilayah kabupaten belum maksimal dimanfaatkan khususnya di wilayah Pantai Barat Kabupaten Madina. Masyarakat Madina masih menggantungkan hidupnya dari alam yaitu sektor pertanian. Usaha industri masih didominasi industri kecil dan menengah, seperti industri makanan dan kerajinan.
Masyarakat adat Madina (Mandailing Natal) masih megenal adanya konsep pembagian dan penguasaan wilayah tradisional yang arif. Sebuah Huta (Desa) atau Banua dalam konsep masyarakat Madina harus mempunyai sumber air, kawasan alam dan tempat pengembalaan. Sejak Zaman Belanda di Wilayah Madina telah ditetapkan hutan lindung register mulai tahun 1921 sampai dengan 1924 dan masyarakat adapt pada 11 Mei 1925 melalui keputusan Kuria Mandailing Godang, Mandailing Kecil dan Pakantan menetapkan keputusan 18 butir atau pasal tentang pengelolaan, pemanfaatan dan pelestarian hutan, tanah dan sungai.
Keeratan Hubungan manusia dengan alamnya khususnya hutan pada Masyarakat Mandailing Natal terbukti adanya bahasa Daun, yaitu adanya kosa kata yang menggunakan nama daun dari jenis tanaman yang tersebar didalam kawasan hutan Mandailing. Bahasa daun menurut Prof.C.A.Van Ophuysen hanya dimiliki oleh masyarakat Mandailing. Hal ini merupakan salah satu gambaran betapa orang MAndailing sangat dekat dengan alam sekitarnya.
Taman Nasional Batang Gadis (TN. Batang Gadis) ditunjuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.126/Menhut-II/2004 tanggal 29 April 2004, tentang Perubahan Fungsi dan Penunjukan Hutan Lindung, Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Produksi Tetap di Kabupaten Madina Propinsi Sumatera Utara Seluas ± 108.000 Hektar sebagai Kawasan Pelestarian Alam dengan Fungsi Taman Nasional. TNBG adalah kawasan taman nasional ke 42 di Indonesia.
TN. Batang Gadis memiliki keanekaragaman jenis flora dan fauna yang tinggi, ekosistem kawasan ini menjadi habitat flora dan fauna langka khas yang dilindungi, sekaligus juga mempunyai keindahan alam yang menarik, dengan udara yang sejuk serta terdapat berbagai obyek wisata potensial yang dapat dikembangkan untuk pariwisata alam.
Ekosistem kawasan TN. Batang Gadis menjadi penting karena selain keanekaragaman hayati yang tinggi juga sebagai sistem penyangga kehidupan, sumber plasma nutfah, pengatur tata air hidro-orologis, pengatur iklim mikro, juga menyimpan potensi pemanfaatan yang tinggi terhadap jasa-jasa lingkungan lainnya.
Upaya konservasi TN. Batang Gadis pada masa depan tidak terlepas akan dihadapkan pada tantangan yang tidak kecil, yaitu mempertahankan integritas ekologis dan kekayaan serta keunikan hayati kawasan taman nasional, sehingga eksistensi jasa lingkungan dapat dimanfaatkan berkelanjutan untuk kelangsungan hidup masyarakat dan pembangunan daerah.
Sejalan bergulirnya waktu, banyak hal-hal yang terjadi dikarenakan kerusakan hutan yang terus meningkat yang diakibatkan banyaknya faktor dan menjadi tantangan utama bagi pihak TNBG. Tantangan utama itu berasal dari penyusutan luasan hutan alam dan keanekaragaman hayati di TN. Batang Gadis. Diantaranya akibat penebangan kayu liar, perluasan ekspansi perkebunan rakyat yang diikuti pemukiman penduduk, rencana eksploitasi pertambangan emas melalui pertambangan terbuka, perkembangan enklave, perburuan satwa liar, pembalakan kayu dan kebijakan-kebijakan pembangunan ekonomi daerah yang belum berpihak pada pelestarian sumber daya alam. Bila dipandang dari segi kebutuhan yang meningkat oleh masyarakat terutama masyarakat miskin, menjadikan alasan tertentu terhadap beberapa hal yang dianggap wajar untuk dikelolah tanpa melihat resiko yang didapat kedepannya. Contohya seperti penggarapan lahan demi meningkatkan pendapatan untuk memajukan kehidupan. Sering sekali masyarakat yang bersinggungan langsung dengan alam menjadikan lahan hutan sebagai sarana pemberi rezeki. Akibat hal tersebut, ini menjadikan tugas berat bagi pihak yang berwenang demi keberlangsungan hutan secara berkelanjutan. Dari Pantauan Tim Inventarisasi kerusakan hutan TNBG, pada Wilayah I Siabu, banyak lahan yang dijadikan objek mata pencarian maupun lahan tinggal oleh manusia dikawasan BTNBG yang merupakan lahan yang digarap sebagian besar beretnis Nias. Ini sangat merugikan, Mengingat TNBG di bangun sebagai fungsi dalam penyangga hidup secara berkelanjutan, rusak akibat ulah yang hanya sebatas untuk mendapatkan kenikmatan sesaat. Hasil dari inventarisasi, lahan yang digarap sebagian besar bersuku Nias. Hal ini tidak bisa dibiarkan secara terus menerus harus ada antisipasi yang nyata serta koordinasi yang baik antara TNBG, Swasta, PEMDA serta masyarakat untuk mendapatkan kolaborasi pengelolaan yang baik. Pengelolaan ini mengacu pada peningkatan peluang dan potensi, sekaligus meminimalisasi ancaman dan hambatan. Dengan demikian kualitas kehidupan dapat meningkat.


ANTARA ETNIS NIAS DAN MADINA


A. Sejarah Kedatangan Penduduk Nias di Madina

Dalam Inventarisasi kerusakan hutan di kawasan TNBG pada beberapa waktu yang lalu, didapat hasil bahwa sebagian besar kawasan TNBG telah dipergunakan oleh masyarakat Nias untuk mendapatkan penghasilan demi tercapainya kehidupan secara berkelanjutan bagi mereka yangmana mereka juga mencoba bermukim di kawasan hutan lindung Madina. Dari hasil penelusuran, kedatangan masyarakat Nias dapat diuraikan sebagai berikut :

1.Masyarakat etnis Nias pertama kali datang di daerah Muara Batang Angkola sejak Tahun 1975, tepatnya di Blok Hutan Bulusoma
2.Selang waktu dari Tahun 1985 sampai 1986 datang dari Nias famili-famili mereka sampai sebanyak 25 kepala keluarga (KK).
3.Tahun 1989, ada seruan dari Pemerintah Tapanuli Selatan agar masyarakat etnis Nias berpindah turun ke Desa. Jumlah keluarga yang pindah sebanyak 50 kepala keluarga (KK)
4.Pada Tahun 1993, Kepala Desa Tanggabosi menyatakan bahwa kawasan hutan di Blok Sungai Batang Angkola dan Sungai Batang Gadis milik tanah adat Tanggabosi
5.Pada Tahun 1997, Kepala Desa Tanggabosi mengeluarkan kebijaksanaan untuk mengganti rugi semua tanah adat yang telah diolah/dikerjakan oleh masayarakat etnis Nias
6.Pada Tahun 2005, pasca trgedi Tsunami dan Gempa Bumi di Aceh-Nias maka terjadi peningkatan masyarakat etnis Nias yang datang di daerah Sihayo dan Sekitarnya

B.Kependudukan Nias di Hutan Lindung Madina

Seiring waktu yang berjalan, masyarakat Nias dikawasan Hutan Lindung Madina Semakin meningkat. Lahan yang digunakan dikawasan TNBG semakin besar. Biasanya mereka menggantungkan hidup dari pertanian. Kopi, Coklat, Karet serta Nilam merupakan sektor andalan bagi etnis nias. Disamping itu untuk tanaman selingan mereka biasanya menanam cabai, Timun, Sayuran serta buah-buahan seperti pisang, Durian dan Jengkol. Biasanya mereka mendapatkan hasil untuk dijual dipasar tepatnya di salah satu daerah di Madina. Etnis Nias sendiri kini sudah menempati di kawasan TNBG sebagai salah satu permulaaan awal untuk menciptakan sebuah kepala keluarga karena faktor peningkatan dikawasan pemukiman awal.
Jumlah kepala keluarga (KK) yang terdata selama kegiatan inventarisasi sebanyak 180 kepala keluarga (KK), sedangkan jumlah jiwa sebanyak 1.017 jiwa
Sebanyak 171 kepala keluarga beragama Kristen, 4 kepala keluarga beragama Katholik dan 5 kepala keluarga beragama Islam. Masyarakat etnis Nias berasal dari berbagai desa/kecamatan di kabupaten di Pulau Nias. Beberapa kecamatan tersebut adalah Kecamatan Namehalu Esiwa, Kecamatan Lotu, Kecamatan Tuhemberua, Kecamatan Hiliduho, Kecamatan Hidanegawo, Kecamatan Lahewa,Kecamatan Gunung Sitoli, Kecamatan Alasa, Kecamatan Sitolu Ori, Kecamatan Lahewa Timur, Kecamatan Gido, Kecamatan Hiligodu, Kecamatan Mandrehe, Kecamatan Ulugawo, Kecamatan Aloo’a, Kecamatan Gomo dan Kecamatan-Kecamatan lain di P. Nias. Tingkat kunjungan untuk kembali ke daerah asal di P. Nias sangat rendah, umumnya mengaku hanya 1 kali dalam setahun atau dua tahun. Hal ini berarti keterikatan dengan famili atau saudara di Pulau Nias tergolong rendah. Tingkat natalitas tergolong cukup tinggi karena berdasarkan hasil pendataan sebagian besar keluarga memiliki lebih dari 5 jiwa. Fasilitas pendidikan yang ada berupa “sekolah dasar swadaya” yang diselenggarakan masyarakat Nias di daerah Tor Pulo. Jumlah murid yang bersekolah saat ini dari kelas 1 sampai kelas 6 berjumlah 80 orang. Sedangkan jumlah guru yang mengajar sebanyak 3 orang tenaga pengajar.
Rata-rata penghasilan per bulan per keluarga, umumnya berkisar antara Rp. 500.000,00 sampai Rp. 1.000.000,00 walaupun ada yang lebih dari Rp. 2.000.000,00. Pondok-pondok yang didirikan memakai papan kayu sebagai dinding dan atap dari seng atau plastik terpal.Ukuran pondok bervariasi dari 2 X 3 m2 sampai 4 X 5 m2. Berdasarkan hasil wawancara pada responden tentang “adanya tekanan dari masayarakat desa sekitar”, maka umumnya masayarakat Nias menjawab “kadang-kadang” merasa tertekan dengan keadaan tersebut.

Pengaruh Keberadaan Etnis Nias terhadapa TN. Batang Gadis.

Data yang di peroleh dari kegiatan inventarisasi kawasan yang dilakukan bahwasanya masyarakat etnis Nias lebih kecil menggunakan kawasan TNBG dari pada Hutan Lindung Madina. Namun bukan berarti itu tidak memberikan dampak resiko yang kuat, tetap saja fungsi kawasan TNBG sebagai Penyangga akan hilang mengingat TNBG dibangun sebagai hutan konservasi dengan tanggunjawab yang utama sebagai pelindung tidak bergerak sesuai dengan tujuan kelestarian yang diandalkan. Hal ini bisa saja memungkinkan terjadi peningkatan mengingat kebutuhan yang meningkat pula. Ini harus menjadi perhatian bagi semua pihak untuk benar-benar melakukan rehabilitasi demi keutuhan hutan yang lestari.
Berdasarkan hasil pendataan lahan-lahan dalam kawasan hutan yang telah dikelola/dikerjakan oleh masayarakat Nias di Hutan Lindung dan Taman Nasional Batang Gadis seluas 504,25 (Lima Ratus Empat Koma Dua Puluh Lima) hektar. Seluas 430,75 (Empat Ratus Tiga Puluh Koma Tujuh Lima) hektar berada dalam kawasan Hutan Lindung dan seluas 173,5 (Seratus Tujuh Puluh Tiga Koma Lima) hektar berada dalam kawasan Taman Nasional Batang Gadis. Sebelum Data berubah dimana TNBG akan menjadi besar, antisipasi untuk penanggulangan harus dilakukan tanpa adanya pilih kasih.
Berikut data Luas pengelolaan kawasan hutan oleh masayarakat Nias di daerah Sihayo dan sekitarnya :
• 1. Tor Pulo 272 Ha
• 2. Aek Silandorung17,2 Ha.
• 3. Aek Tombang 43,5 Ha
• 4. Bandar Lasiak 22,5 Ha
• 5. Sihayo 26,5 Ha
• 6. Bulusoma 11 Ha
• 7. Pasir Bidang 33 Ha
• 8. Aek Simatemate 37 Ha
• 9. PKB (Perkebunan Karet Berbantuan) 48 Ha
• 10.Aek Sibarabe 94,25 Ha
• 11.Aek Simarincor-incor 42 Ha
• 12.Pasir Bolak 85 Ha
• 13.Lubuk Sihim 12,25 Ha
• 14.Jambu – Jambu 21 Ha
• 15.Tor Dairi 13 Ha
• 16.Banjar Go’o 21 Ha

Sejauh ini banyak kasus yang melatar belakangi etnis Nias untuk mengelolah kawasan di hutan lindung maupun hutan konservasi TNBG. Kasus ini sering dijumpai oleh beberapa kasus terkait penggunaan lahan oleh masyarakat sekitar hutan. Kasus-kasus yang terjadi pada masalah ini yaitu Sebanyak 112 kasus melakukan pembukaan hutan sendiri baik pembukaan semak/hutan sekunder bekas kebun masyarakat Dairi atau membuka hutan yang masih perawan seluas 279 hektar Sebanyak 76 kasus, cara perolehan dengan sistem pembayaran“ganti rugi lepas” dengan luas 261 hektar Sebanyak 12 kasus, cara perolehan lahan merupakan pemberian dan sewa seluas 21,75 hektar.

BEBERAPA CARA UNTUK MENGEMBALIKAN LAHAN KRITIS DALAM RANGKA REHABILITASI LAHAN YANG DIGARAP OLEH ETNIS NIAS

1. Kembali ke daerah asal/Nias
Pada point ini merupakan langkah awal yang baik karena etnis nias yang berada dikawasan hutan lindung dan kawasan Taman Nasional Batang Gadis sebagian merupakan pendatang. Namun bukan berarti bisa langsung meninggalkan tetapi butuh proses antara kedua belah pihak berupa kesepakatan sebagai jalan tengah agar masing-masing menguntungkan, disebabkan etnis nias ada sebagian yang sudah lama menetap dikawasan tersebut sebelum berdirinya Taman Nasional yang merupakan istansi yang ditunjuk sebagai lembaga berwenang untuk memberikan larangan dan instruksi kepada siapa saja menyangkut masalah hutan konservasi. Point ini memberikan kontribusi tersendiri karena etnis nias dapat berkumpul kembali dilingkup etnis nias dan dapat hidup tenang tanpa memikirkan suatu yang kurang baik daripada hidup dilingkup yang bukan menjadi hak bagi mereka. Mungkin sebagian masyarakat etnis nias mempunyai potensi yang dapat dikembangkan dikota asal dan lebih bermasyarakat sehingga dapat berdayaguna bagi mereka dan orang lain. Satu hal yang penting menyangkut realitas hidup bahwasanya lingkungan akan memberikan janji yang baik bila dia terus dijaga dan dilindungi sebab didalamnya banyak menyimpan potensi-potensi untuk kebutuhan hidup masa sekarang dan masa yang akan datang.

2. Pindah tempat tinggal di desa-desa sekitar
Poin yang kedua adalah memindahkan mereka ke desa-desa sekitar sebagai suatu alternatif untuk mereka agar mereka tidak meninggalkan tempat tinggal mereka yang sudah lama dijadikan tempat tinggal dan hanya memindahkan lokasi di desa tertentu yang ditunjuk sebagai kesepakatan bersama. Hal ini memang tidak mudah untuk dilaksanakan, apalagi ini juga harus berhadapan langsung dengan masyarakat asli. Sehingga perlu diikut sertakan agar keputusan bisa bulat mengingat keberadaan masyarakat nias belum tentu dapat diterima begitu saja. Dalam hal ini kolaborasi antara masyarakat asli, etnis nias serta instansi terkait, benar-benar harus disatu teguhkan demi menciptakan suasana harmonis dan kebersamaan dihari yang akan datang. Poin ini diharapkan satu sama lain dapat memberikan keuntungan yang maksimal untuk kesejahteraan antara semua pelaku-pelaku yang terkait dan hutan khususnya dapat mempertahankan keseimbangan ekosistemnya dan mempertahankan keutuhan keanekaragaman hayatinya untuk masa depan yang berdaya guna bagi kelangsungan hidup orang banyak.

3. Pindah ke lokasi yang ditentukan oleh pemerintah
Pemerintah juga dapat turut serta dalam menyelesaikan kasus ini apabila kesepakatan yang dibuat kurang mendapat titik terang. Pemerintah dapat menyediakan lokasi bagi etnis nias agar sebagai rakyat yang memang berhak untuk hidup sejahtera dapat dilakoni bagi etnis nias. Dengan penyediaan lokasi bagi etnis nias oleh pemerintah dapat serta merta menjadikan pengelolaan hutan lebih terkendali. Akan tetapi musyawarah mufakat menjadi kunci keputusan apakah keinginan-keinginan yang diharapakan dapat terelisiasi oleh kedua pihak. Pemindahan lokasi oleh pemerintah bagi etnis nias bukan berarti dapat menghilangkan kerusakan hutan, namun bisa dijadikan tolak ukur dalam pengurangan kerusakan di kawasan TNBG dan menjadikan tugas kembali bagi TNBG untuk bisa merehabilitasi kawasan yang sudah rusak. Pemindahan lokasi bagi etnis nias, dijadikan sebagai alasan, supaya kemerataan pembangunan bagi rakyat indonesia dapat tercermin dan sebagai bentuk keseriusan pemerintah terhadap kemajuan pembangunan daerah demi kemakmuran rakyat.

4. Mengikuti program lain yang ditentukan pemerintah (misalnya: ikut dalam Perkebunan Inti Rakyat/PIR, Hutan Tanaman Rakyat/HTR dll)

TNBG telah ditunjuk sebagai kawasan pelestarian alam oleh menteri kehutanan yang prakarsa pembentukannya berasal dari pemerintah Kabupaten Madina bersama masyarakat setempat. Upaya konservasi TNBG pada masa depan tidak terlepas akan dihadapkan pada tantangan yang kecil, yaitu mempertahankan integritas ekologis dan kekayaan serta keunikan hayati kawasan taman nasional, sehingga eksistensi jasa ekologis dapat dimanfaatkan berkelanjutan untuk kelangsungan hidup masyarakat dan pembangunan daerah sehingga sangat perlu didukung dalam pelestariannya. Untuk mencegah konflik antara masyararat etnis nias menyangkut kebeadaan mereka di kawasan sebelum TNBG berdiri, perlu mengikutsertakan mereka dalam program pemerintah seperti Perkebunan Inti Rakyat / PIR dan Hutan Tanaman Rakyat. Agar ini memberikan keuntungan sendiri bagi mereka tanpa menganggap bahwa instansi kehutanan yang berwenang tidak memberikan kepentingan bagi mereka. Dalam rangka meningkatkan efektifitas dan efisiensi pengelolaan TNBG, perlu dilakukan usaha memperkuat pengelolaannya, antara lain melalui peningkatan kapasitas pengelola dan pelibatan para pihak yang berkepentingan secara bersama-sama dan setara. Dengan demikian etnis nias dapat merasakan kebahagian kembali dan tidak merasa dirugikan oleh siapa saja bila semua berjalan sesuai dengan kesepakatan.

Analisis dan rumusan masalah

Keberadaan kampung atau desa definitif di dalam kawasan hutan adalah realitas banyak daerah di indonesia akibat dari berbagai alasan atau latar belakang yang perlu dipahami benar guna penanganannya yang tepat dan adil. Disamping mempertimbangkan aspek kesejarahan tersebut, adalah penting untuk pengkajian ulang mengenai penetapan fungsi kawasan itu sendiri, serta manfaat kawasan bagi kehidupan masyarakat ( interaksi masyarakat dan lingkungannya). Bilamana muncul permasalahan, dituntut perumusan solusi secara dialogis dan partisipatif khususnya pelibatan aktif masyarakat. Pemerintah sendiri harus memberikan contoh kepada masyarakat tentang komitmen, konsekuensi dan konsistensi terhadap setiap keputusan yang diambil menyangkut penetapan fungsi kawasan hutan. Mnegusir masyarakat/memindahkan dusun/kampung/ desa dari dalam kawasan hutan dan/atau sebaliknya membiarkannya tumbuh berkembang begitu saja dalam kawasan hutan bisa menjadi sama nistanya. Akan tetapi salah satunya mungkin alternatif terbaik dan harus dilakukan bagi kepentingan yang lebih besar, dengan catatan pihak-pihak berkepentingan memahami dan menyepakatinya.
Keberadaan kampung didalam kawasan hutan bisa karena memang sudah ada sebelum ditetapkan sebagai kawasan, bisa karena program pemerintah dimasa lalu dan juga bisa karena pendudukan kawasan hutan terutama pada masa reformasi. Sebenarnya semua itu bisa diselesaikan apabila masing-masing pihak, baik masyarakat maupun pemerintah mampu membuktikan komitmennya untuk melestarikan hutan dan mensejahterahkan masyarakat secara kongrit dilapangan. Masyarakat membuktikan komitmennya melalui pengembangan wahanatani dan usaha-usaha produktif lain dengan tetap menjaga kelestarian hutan. Sementara pemerintah melaksanakan kewajibannya dengan melayani dan membantu masyarakat agar dapat melaksanakan komitmennya tersebut, serta memberikan perlindungan hukum agar masyarakat dapat tetap hidup dan meningkatkan kesejahteraannya dengan tetap menjaga kelestarian fungsi hutan secara berkelanjutan. Kondisi ini sulit tercapai, karena adanya jarak geografis dan politik ekonomi antara pemerintah dengan masyarakat yang harus dilayani. Persoalannya kemudian, bagaimana memperpendek jarak geografis dan politik ekonomi tersebut dengan kebijakan dan program pememrintah yang dapat menyentuh dan menyelesaikan persoalan-persoalan hutan dan masyarakat secara kongrit di lapangan. Dengan demikian kita bisa berharap, visi kehutanan untuk menjaga kelestarian hutan dan mensejahterahkan masyarakat dapat dicapai dan tidak sebatas wacana dan slogan kosong saja.
Keberadaan kampung dalam kawasan hutan adalah sebuah fakta yang tidak bisa dielakkan. Dalam setiap ijin konsesi hutan yang di terbitkan oleh pihak yang berwenang, selalu ditegaskan bahwa apabila didalam areal yang diberikan ijin tersebut terdapat hak-hak pihak ketiga (salah satunya bisa kampung), maka areal yang menjadi hak pihak ketiga tersebut harus dikeluarkan dari ijin konsesi. Penegasan tersebut memberikan koridor bagi pelaku usaha, bahwa setiap ijin usaha yang diberikan bukanlah areal yang clean dan clear, meskipun berada dalam kawasan hutan. Sayangnya, dalam pelaksanaannya dilapangan diperlukan kejelian untuk mengidentifikasi adanya hak-hak pihak ketiga. Dalam kasus keberadaan kampung yang secara historis memang sudah ada sebelum ijin diberikan, proses enclave, tidaklah sulit. Situasinya menjadi kompleks ketika sejalan dengan dinamika perkembangan masyarakat dan aksesibilitas yang semakin terbuka, bermunculan kampung-kampung baru.
Sebenarnya, opsi enclave bukanlah upaya satu-satunya untuk menyelesaikan permasalahan keberadaan kampung di kawasan hutan. Terminiologi hutan sebagai kumpulan vegetasi pohon-pohonan semata sudah tidak relevan lagi digunakan saat ini, karena pola interaksi masyarakat dengan hutan dewasa ini sudah jauh berbeda. Karenanya opsi hutan desa sebagai bentuk pengelolaan hutan yang diinisiasi dibeberapa tempat. Dalam konteks yang lebih luas, kampung juga bisa berada dalam kawasan hutan yang belum dibebani ijin. Untuk kasus ini, kebanyakan menjadi status quo, karena biasanya pihak yang berwenang di kehutanan tetap berupaya untuk mempertahankan status kawasan hutan.
Masyarakat yang tinggal didalam kawasan hutan, baik dihutan produksi maupun hutan konservasi, seperti taman nasional, sudah seharusnya dipandang sebagai bagian dari solusi pengelolaan hutan secara luas. Selama ini, mereka hanya dijadikan objek, dan bahkan dimanfaatkan untuk kepentingan jangka pendek oleh para free riders – tokoh-tokoh intelektual, cukong, spekulan, calon ijin IPK,ijin HPH,dan sebagainya. Kalau kita masih memandang masyarakat atau alam sebagai sekedar objek, maka kita masih menganut doktrin Descartes, berabad-abad lalu:”aku subjek, yang lain objek” yang telah membuahkan kehancuran sumberdaya alam di muka bumi ini.
Oleh karenya, masyarakat desa hutan, masyarakat yang tinggal disekitar hutan atau bahkan didalam hutan, sudah seharusnya diperlakukan sebagai stakeholder utama dan pertama dalam pengelolaan hutan di indonesia. Hal ini hanya dimungkinkan apabila para pengambil keputusan melakukan perubahan paradigma pengelolaan hutan di indonesia. Peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai harus dirubah. Dalam pengelolaan hutan di indonesia seharusnya dibangun pola-pola yang fleksibel, diproses secara bottom up, dan disesuaikan dengan kondisi spesifik setiap lokasi, termasuk keragaman modal sosial, aset ekonomi mikro, kekuatan budaya, dan peluang dinamika politik lokalnya diera otonomi daerah saat ini. Oleh karenanya, berbagai disiplin ilmu harus dapat disenirgikan untuk dapat menyumbangkan pemikiran dan solusi pengelolaan sumberdaya hutan nasional ini. Kita harus akui bahwa pengelolaan hutan produksi selama beberapa tahun terakhir ini telah mengalami kegagalan. Fakta menunjukkan bahwa bahwa hutan-hutan tropis yang yang relatif masih bagus hanya tersisa di kawasan-kawasan konservasi. Maka, bukan tidak mungkin bila pengelolaan kawasan-kawasan konservasi itu akan menemui kegagalan-kegagalan, apabila kita salah menempatkan posisi masyarakat lokal, yang tinggal disekitar atau didalam kawasan hutan itu. Pertanyaan yang penting adalah cukup ikhlas kah pemerintah untuk melakukan reposisi, reorientasi dan reformasi birokrasi dan kebijaknnya, agar lebih mendengarkan dan memahami berbagai aspirasi masyarakat? Lebih bersedia menjadi fasilitator, pendamping, dan pengayom masyarakat? Pertanyaan sekaligus otokritis terhadap pemerintah di berbagai tingkatannya, seperti ini harus bisa dijawab. Bukan hal yang mudah tentunya, tetapi bukanlah sesuatu yang tidak mungkin dilakukan secara bertahap,sistematis, dan konsisten. Maka, perubahan fundamental seperti ini sudah seharusnya dimulai dari pemerintah.
Sudah saatnya rakyat mendapatkan posisi setara dengan pihak lainnya untuk menyatakan permasalahan yang dialaminya selama bertahun-tahun yang sampai saat ini belum ada solusi yang terbaik. Kita tidak ingin lagi mendengar ada ada pengkambinghitaman rakyat atas kerusakan hutan selama ini. Tidak akan ada lagi rakyat yang mengalami kemiskinan diatas sumber daya hutan alam (hutan), dimana mereka telah lebih awal melangsungkan proses kehidupan secara turun temurun. Jangan ada lagi keraguan dari pemerintah untuk memberikan wewenang dan tanggungjawab pengurusan hutan yang lebih luas kepada rakyat.

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI SEKITAR KAWASAN KONSERVASI

Ada beberapa prinsip yang harus dipakai dalam pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi. Prinsip-prinsip tersebut berupa :

1.Pendekatan Kelompok
Apapun kegiatan yang dilakukan dalam pemberdayaan masyarakat harus dilakukan melalui pendekatan kelompok, sehigga menumbuhkan kelompok-kelompok yang terus bergerak dinamis untuk melanjutkan dan mengembangkan kegiatan-kegiatan ditumbuhkan dari, dan oleh untuk kepentingan warga masyarakat desa didalam dan disekitar kawasan konservasi, bukan untuk kepentingan yang lain. Dalam Suatu kegiatan hendaknya lah kita selalu melakukan pendekatan pada kelompok tertentu di dalam kawasan konservasi untuk menciptakan keharmonisan antara pemberdaya kepada masyarakat umumnya untuk menghasilkan kinerja yang baik. Pendekatan kelompok merupakan salah satu strategi dalam unjuk kegigihan untuk menghasilkan program yang akan diluncurkan dalam pemberdayaan masyarakat.

2.Keserasian
Setiap kelompok pemberdayaan masyarakat haruslah terdiri dari warga masyarakat desa didalam dan disekitar kawasan hutan konservasi yang sama, sehingga akan tumbuh kerjasama yang kompak dan serasi. Dalam hal ini kita bisa meraih apa yang kita programkan karena satu sama lain saling berkerjasama menjalin keakraban demi pencapaian target yang ditentukan sebelumnya antara kedua belah pihak.

3.Kepemimpinan dari mereka sendiri
Memberi kesempatan seluas-luasnya kepada seluruh warga masyarakat desa didalam dan disekitar kawasan hutan konservasi untuk mengembangkan kepemimpinan dari kalangan mereka.

4.Pendekatan Kemitraan
Memperlakukan warga masyarakat desa didalam dan disekitar kawasan konservasi sebagai mitra kerja pembangunan kehutanan, yang berperan serta secara aktif dalam pengambilan keputusan, akan menjadikan mereka sebagai mitra kerja yang aktif dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan hutan yang lestari.

5.Swadaya
Semua kegiatan yang dilakukan berupa bimbingan, dukungan dan kemudahan haruslah mampu menumbuhkan keswadayaan dan kemandirian. Untuk itu hasil yang diperoleh dapat memberikan kontribusi tersendiri bagi kedua pihak khususnya bagi masyarakat diluar dan didalam kawasan konservasi. Hasil yang didapat mungkin menjadikan modal bagi semua pihak untuk selalu ingin berparsipasi dalam berbagai kegiatan mengingat sudah ada daya dukung didalam diri pribadi untuk mengenal berbagai masalah alam yang terjadi.

6.Belajar sambil bekerja
Dirancang dan dilaksanakan sebagai proses pembelajaran yang partisipatif, yang dilakukan sendiri oleh warga masyarakat desa di dalam dan disekitar kawasan konservasi, agar mereka megalami dan menemukan sendiri masalah-masalah serta alternatif pemecahannya. Point ini menjelaskan sendiri pada mereka tentang hal-hal yang terjadi dan dituntut untuk berusaha sendiri tentang semua yang terjadi dalam hidup mereka, sehingga mereka dapat belajar mengenal situasi langsung yang berkaitan dengan alam.

7.Pendekatan Keluarga
Tidak hanya diperuntukkan bagi kaum laki-laki dewasa (bapak-bapak) saja, tetapi juga para ibu dan anak-anaknya, sehingga seluruh anggota keluarga warga masyarakat desa didalam dan disekitar kawasan memperoleh pemberdayaan sesuai dengan masalah dan kebutuhan masing-masing. Apa yang mereka inginkan kita coba untuk memahami dan memberikan penjelasan secara tepat untuk mengusahakan agar mereka senantiasa mau mengerti apa yang sebenarnya yang terjadi.

8.Dari masyarakat untuk masyarakat
Semua kegiatan dirancang dan dilaksanakan oleh masyarakat yang hasilnya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Dalam kasus ini, kita tidak bisa mengatakan langsung bahwa mereka salah, jadikan ini bahan untuk bekerjasama dengan mereka agar situasi yang ada pada saat ini dapat terkurangi dengan berbagai program yang nantinya bermanfaat bagi semuanya.


KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1.Masyarakat etnis nias mau berpindah tempat apabila pemerintah memberikan kontribusi sebagai tanda pengganti kehidupan mereka agar mereka dapat menjalankan hidup sebagaimana mestinya dan tentunya dapat memberikan kelayakan hidup demi kesejahteraan di masa yang akan datang.

2.Masyarakat etnis nias sangat mendukung terhadap kelestarian hutan akan tetapi mereka harus berjuang demi hidup yang selama ini sangat minim dimana susahnya mendapatkan pekerjaan dan tempat tinggal sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidup tersebut mereka terpaksa membuka lahan untuk bercocok tanam serta membuat pemukiman.

3.Masyarakat etnis nias berupaya menjadikan masyarakatnya menjadi masyarakat yang berkembang dengan membuka sekolah-sekolah, rumah ibadah, dan beberapa industri di kawasan hutan lindung serta kawasan TN. Batang Gadis agar mereka selalu memenuhi perkembangan jaman demi kehidupan dimasa yang akan datang.

B. Saran

1.Untuk menyadarkan masyarakat yang menggarap lahan demi kepentingan pribadi sebaiknya pemerintah lebih tegas dan terarah dalam mengupayakan masalah tersebut dengan membuat program-program tertentu untuk tetap menjamin kesejahteraan mereka serta memberikan keuntungan satu sama lain agar tetap tercipta hutan yang lestari.

2.Pemerintah,Swasta dan Masyarakat sebaiknya harus saling bekerjasama dalam upaya mendukung kelestarian hutan demi masa depan anak cucu sebagai generasi penerus yang akan menggantikan generasi sebelumnya. Dan diharapakan tidak adanya saling salah menyalahkan dan tentunya harus berpedoman pada peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang dibuat dan disahkan oleh negara.

DAFTAR PUSTAKA

Buklet Balai Taman Nasional Batang Gadis 2007. Rencana Pengelolaan Untuk mewujudkan Taman Nasional Batang Gadis Yang Lestari. Sumatera Utara.

Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Direktorat Pemanfaatan jasa Lingkungan dan Wisata Alam 2008. Pedoman Kriteria dan Indikator Pemberdayaan masyarakat di Sekitar Kawasan Konservasi. Bogor .

Laporan Taman Nasional batang Gadis 2009. Inventarisasi Kerusakan Hutan SPTN Wilayah I Siabu. Sumatera Utara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar